![]() |
Alief Irfan dan Mbah Darto di Padepokan Samin ( Dok. Fasta ) |
2/
Mbah ...
Kami mulai resah
Kekayaan daerah sudah mulai punah
Para penduduknya mulai malu
Mengakui selendang sebagai kekayaan
Mengakuai gamelan sebagai harta warisan
Kasihan nenek moyang ...
Iya kan, Mbah?
Mbah ...
Orang-orang mulai pindah rumah
Mereka berdesakan membangun istana di dunia maya
Yang jarang mengenal sesama tetangga
Apalagi bertegur sapa
Mereka sudah tidak makan nasi
Mereka mengkonsumsi caci maki
Melahap lauk membenci
Cuci mulut dengan profokasi
Mbah ...
Mataku sudah gelap
Saatnya aku ingin melihat seni rupa
Yang kau goreskan di atas kaca
Setidaknya di sana aku masih bisa melihat
Bahtara-kala yang akan menurunkan karma
Bagi siapapun yang telah mengobarkan dusta
Mbah ...
Ayo ngopi barang sebentar
Tenggelam bersama pekat malam
Menyudahi penantian purnama yang tak kunjung datang
Menyelami mimpi garuda yang sudah tidur duluan
3/
Si Mbah ini cucumu yang berhutang jasa kepadamu
Maafkan aku, sampai detik ini belum mampu sepeserpun membalas itu
Si Mbah ini cucumu yang kerap kau timang dalam pangkuan
Maafkan aku, hingga kini belum sempat sambang dan menghaturkan sayang
Si Mbah ini cucumu datang lantaran deretan aksara
Yang pernah kau ajarkan saat petang mulai datang
Kau berkata "petang inilah bahagia
sesungguhnya"
Dengan begitu yakinnya
Aku begitu dungu tanpa kefahaman
Mana ada petang yang membahagiakan
Tapi setelah ku mereguk temaram aku baru mengerti
Petang adalah bertahan tanpa cahaya
Menyalakan hati dalam setiap gulita menggempita
Si Mbah, cukup sekian dulu ...
Sebab aksara selalu berlinang jika harus mengenang tiap pelajaran yang kau
sampaikan dalam diam
@Alief Irfan
Jenu, 29 Maret 2019
Posting Komentar
Posting Komentar